Yayasan FKAAI

Residivisme Teroris dan Deradikalisasi

Facebook
Twitter
LinkedIn

Residivisme Teroris dan Deradikalisasi

11 Desember 2022

Penulis: Gus Soffa Ihsan

 

Kasus bom bunuh diri berulang kembali. Pada Rabu pagi, 7 Desember 2022 tragedi biadab itu terjadi di Polsekta Astana Anyar, Bandung. Korbannya ada yang meninggal yaitu Aipda Sofyan. Delapan petugas dan warga sipil luka-luka. Pelakunya adalah Agus Sujatno, atau Abu Muslim bin Wahid. Yang mengagetkan, pelaku ini adalah eksnapiter kelahiran Bandung 1988 yang baru bebas setahunan ini dari Nusakambangan. Sebelumnya dia terlibat bom Cicendo yang pelakunya Yayat Cahdiyat tahun 2017. Agus bersama Yayat merakit bom dari bahan yang dibeli di situs online. Akibat kasus ini, dia diganjar 4 tahun di Nusakambangan. Rupanya belum pulih dari ganasnya virus radikal, Agus melakukan amaliyat teror bom bunuh diri.


Aksi bom bunuh diri ini menambah daftar kasus serupa di negeri kita. Data yang ada, terhitung 12 kali kejadian sejak 2002. Pada tahun 2018, Indonesia kala itu menjadi salah satu negara di Asia Pasifik yang mendapatkan predikat nilai buruk akibat meningkatnya aktivitas teroris, disusul oleh Vietnam, Korea Utara dan Taiwan (Global Terrorism Index, 2019: 41). Angka ini muncul akibat rentetan serangan teroris yang terjadi di Indonesia pada tahun 2018, diantaranya teror bom di tiga gereja di Surabaya yang merenggut korban jiwa hingga puluhan orang terluka, kerusuhan di Markas Komando (Mako) Brimob, serangan teroris di Mapolda Riau, serta bom bunuh diri di Polrestabes Surabaya dan Rusunawa Wonocolo Sidoarjo. Rentetan aksi teror yang terjadi sepanjang tahun 2018 dan tahun-tahun sebelumnya merenggut banyak korban jiwa, hingga kerugian materil yang tidak hanya dirasakan secara individu, namun juga negara.


Aksi-aksi lone wolf ini tampaknya menjadi cara paling digemari saat ini. Mungkin sifatnya yang dipandang pelaku sebagai instan, praktis dan efektif, tanpa berurusan dengan fatwa mentor atau segala hal yang sifatnya hirartki indoktrinasi. Walaupun aksi sejenis ini mudah dilihat sebagai model dari kelompok yang berafiliasi dengan ISIS yang di Indonesia dipandegani oleh JAD.


Tren organisasi teroris saat ini bergerak ke arah lone wolf, yaitu mereka yang bergerak sendiri tanpa jaringan, yang merupakan hasil belajar melalui internet. Selain itu, terdapat pula kemerosotan organisasi (tandzim) menjadi “jihad tanpa pemimpin”. Salah satu contohnya adalah Al Qaeda yang tidak lagi mengontrol sumber daya, menjalankan kamp pelatihan, atau berada dalam posisi untuk mengarahkan operasi. Al Qaeda berubah hanya sebagai sebuah jaringan sosial yang mengilhami jihad global. Hal ini mengindikasikan bahwa terorisme telah terpecah dan menjadi diri sendiri (Acharya dan Marwah, 2011: 3). Evolusi ini dilakukan oleh organisasi-organisasi teror untuk mengelabuhi musuh besarnya dalam membentuk jaringan-jaringan terputus. Tak hanya di tingkat dunia, permasalahan terorisme juga menjadi isu utama di Indonesia.


Apapun bentuk teror, adalah perbuatan keji melawan kemanusiaan dan agama. Sekecils apapun teror tetaplah tindakan yang merusak dan membuat gaduh. Tak ayal, kita tidak bisa memandang remeh apapun bentuk dan kualitas teror. Membunuh satu nyawa sama dengan membunuh seluruh manusia, sebuah kredo dari Al-Quran yang luar biasa menyadarkan pada kita untuk senantiasa menjaga marwah manusia.


Kembalinya Amaliyat Teror


Penelitian yang dilakukan Ismail dan Sim pada tahun 2016 menunjukkan bahwa estimasi tingkat residivisme teroris di Indonesia mencapai angka 15% (Hasisi, Carmel, Weisburd & Wolfowicz, 2019: 5). Ada pula yang kembali masuk dalam jaringan radikal setelah keluar dari penjara, bahkan telah melewati proses deradikalisasi BNPT secara intensif, seperti Isnaini Romdhoni yang terlibat dalam jaringan bom di gereja Surabaya. Ia diketahui pernah melakukan latihan perang ala militer di Poso bersama kelompok Santoso.


.Kasus residivis teroris lain adalah Ismarwan yang ditangkap pada 21 November 2019 oleh Densus 88 karena melakukan pelatihan militer bersama jaringan kelompok JAD dan pernah terlibat aksi terorisme di Aceh tahun 2017 (Zulfahri, 2019). Menariknya, Ismarwan mengikuti seluruh kegiatan yang diadakan oleh Direktorat Deradikalisasi BNPT (Zulfahri, 2019).


Kasus lain dilakukan Juhanda yang pernah terlibat dalam kasus bom buku dan bebas pada tahun 2014. Juhanda kembali menyerang gereja Oikumene pada tahun 2016 di Samarinda. Kasus lain, yakni Sunakim yang terlibat dalam pelatihan Jantho Aceh dan bebas pada 2015 kembali melakukan aksi Bom Sarinah pada Desember 2016 (Zulfahri, 2019). Selain itu, Yayat Cahyadi alias Abu Salam, yang bebas pada tahun 2014 dan kembali melakukan aksi Bom Panci di Cicendo, Bandung pada 27 Februari 2017 (Zulfahri, 2019). Nama Yayat Cahdiyat juga pernah disebutkan sebagai salah satu dari 8 terpidana terorisme yang dijebloskan di Lapas pada 17 Mei 2013. Yayat masuk dalam jaringan kelompok Cikampek bersama Enjang Sumantri, Bebas Iriana dan Ujang Kusnanang. Yayat sendiri waktu itu divonis 3 tahun penjara. Dan juga sebelumnya adalah residivis teroris seperti Abdullah Sonata, Abdul Rauf dan Aman Abdurrahman.


Tahun 2019 Densus 88 menangkap seorang teroris berinisial HK alias Wahyu Nugroho alias Uceng. Uceng yang merupakan seorang residivis ini telah ditangkap pada 3 Januari 2019 silam di Bandara Internasional Soekarno-Hatta saat hendak berangkat ke Suriah melalui Iran. keterlibatan Uceng dalam sejumlah kasus teror di Indonesia, cukup penting. Dia terlibat dari mulai kelompok JI (Jamaah Islamiyah) jamannya Noordin M Top dan dr Azhari. Dia pernah mendekam di penjara dua kali atas kasus terorisme. Pasca dibebaskan dari penjara, Uceng diketahui berkomunikasi dengan Abdul Wahid, salah satu algojo ISIS di Suriah yang diketahui sudah tewas pada akhir Januari 2019. Dari pelacakan komunikasi keduanya, diketahui Abdul menyarankan Uceng agar segera ke Suriah dengan mengirimkan dana sebesar Rp 30 juta untuk biaya keberangkatan Uceng. Namun setelah Uceng menerima dana tersebut, HK selanjutnya memberikan sebagian dana itu ke sel-sel ‘tidur’ di Indonesia untuk bangkit melakukan aksi teror.

Fakta berulangnya residivis teroris menjadikan program deradikalisasi disorot. Berbagai upaya yang dilakukan selama ini dengan mengundang tokoh dari luar negeri maupun tokoh-tokoh ulama belum memadai karena eks napiter merasa memiliki alur pemahaman yang berbeda. Upaya bantuan kewirausahaan dalam berbagai bentuk yang gencar diberikan belum mampu meluluhkan paham idiologisnya. Terorisme sebagaimana dalam ungkapan Hendropriyono merupakan tindakan kejahatan yang tidak tunduk pada aturan apapun, lantaran nilai kebenarannya terletak di dalam dirinya sendiri. Fakta-fakta di atas membuktikan bahwa saat ini terdapat kebutuhan yang lebih besar untuk melakukan langkah intervensi dalam rangka mencegah radikalisasi dan mempersiapkan strategi pencegahan residivis.


Ketika membahas residivisme, penting untuk dicatat bahwa, walaupun terorisme yang bermotivasi agama mengalami peningkatan pasca-11/9, para ideolog lain menginspirasi aksi teroris secara global. Nasionalisme, dan terorisme sayap kanan hanyalah beberapa contoh dari motivasi non-agama yang bercorak ekstremisme yang keras. Meskipun keragaman dalam ideologi, kajian kontemporer tentang residivisme cenderung berfokus pada komunitas agama. Mungkin ini karena asumsi, sebagaimana dinyatakan oleh Pluchinksy bahwa “teroris dengan motivasi dan tujuan sekuler lebih mungkin untuk direformasi di penjara daripada teroris yang didorong oleh agama.” Beberapa program deradikalisasi yang diterapkan di negara-negara di seluruh dunia, termasuk Arab Saudi, Singapura, Mesir, dan Yaman, cenderung berfokus pada transisi yang berorientasi teologis dalam kepercayaan dan motivasi (Omi Hodwitz; 2019, 54)


Residivis sendiri merupakan sebutan bagi seseorang yang melakukan pelanggaran hukum berulangkali dan telah dijatuhi hukuman oleh lembaga peradilan pidana. Menurut R Susilo, residivisme adalah orang yang melakukan beberakali tindak pidana dimana tindak pidana satu dengan tindak pidana lain sudah ada putusan hukum (R Susilo; tt, 25). Residivisme dalam pemahaman umum dipahami sebagai suatu istilah luas yang mengacu pada perilaku kriminal kambuhan (relapse of criminal behavior), termasuk karena suatu penangkapan kembali (rearrest), penjatuhan pidana kembali (reconviction), dan pemenjaraan kembali (reimprisonment). Residivis juga diartikan sebagai orang yang melakukan pengulangan tindak pidana. Residivisme (recidivism) juga dimaknai sebagai kecenderungan individu atau kelompok untuk mengulangi perbuatan tercela walaupun ia sudah pernah dihukum karena melakukan perbuatan itu. Namun sebagai suatu konsep dalam hukum pidana, seseorang baru dapat disebut residivis atau melakukan perbuatan residivisme apabila orang tersebut melakukan pengulangan tindak pidana dengan syarat-syarat tertentu yang kemudian dapat berimplikasi pada pemberatan hukuman baginya (Hairi, 2018 : 200). Sisi lain yang patut diperhatikan adalah faktor seperti persahabatan, yakni kesetiaan pada teman adalah faktor utama dan paling penting dalam memprediksi terorisme, sementara tekanan kelompok, meningkatkan hubungan/kontak, kedudukan sosial bergengsi menjadi alasan lain keterlibatan kembali mantan narapidana teroris di Indonesia.


Memang kasus residivisme teroris tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan di banyak negara. Di Indonesia maupun di tingkat dunia, terdapat banyak mantan narapidana teroris yang kembali melakukan aksi serupa setelah menyelesaikan masa hukuman atau yang biasa disebut residivis

Di tingkat dunia, Saudi Arabia yang mengklaim memiliki angka kesuksesan program deradikalisasi 100% pun, memiliki angka residivisme mencapai 10% hingga 20% (Fazel & Wolf, 2015; Hasisi, Carmel, Weisburd & Wolfowicz, 2019: 5). Di Eropa, Bakker (2006: 40) menemukan bahwa dari 242 narapidana teroris, 58 orang memiliki catatan kriminal dan 2.5% terlibat dalam aktivitas teror jihadis sebelumnya. Di Amerika Serikat, penelitian yang dilakukan pada pelaku kejahatan terorisme paska kejadian 9/11 menunjukkan bahwa dari total 247 narapidana teroris, terdapat 9 orang yang kembali menjadi residivis setelah dibebaskan (Hodwitz, 2019: 54). Artinya, terdapat sekitar 1.6% residivis kasus terorisme di Amerika pada tahun 2001 hingga tahun 2018. Residivisme terjadi antara 3 bulan hingga 3 tahun setelah kebebasan, dengan rata-rata 1 tahun 9 bulan (Hodwitz, 2019: 60).


Riset yang dilakukan di Singapura menunjukkan angka residivisme teroris mencapai 40% (Abuza, 2009; dalam Aggarwal, 2013: 263). Penelitian lain juga menemukan bahwa terdapat lebih dari 50% residivis teroris di Yaman (Noricks, 2009; dalam Aggarwal, 2013: 263). Di Guantanamo, tingkat residivisme yang dikonfirmasi atau dicurigai diantara mantan narapidana teroris adalah 30.5% (16.9% dikonfirmasi, 13.6% diduga) (Altier, Boyle & Horgan, 2019: 3). Variasi angka di atas menunjukkan bahwa meskipun telah menyelesaikan masa hukuman, mantan narapidana teroris belum tentu sepenuhnya terlepas atau meninggalkan ideologi kelompok yang dimiliki. Mantan narapidana teroris dapat kembali melakukan aksi jika terdapat pemantik yang cukup membuat mereka tergerak untuk melakukan aksi kembali.


Kasus residivis tingkat dunia diungkapkan Pluchinsky (2008: 184), yakni Abdelfettah Raydi. Raydi meledakkan dirinya pada 11 Maret 2007 di dalam sebuah kafe internet di Casablanca, Maroko. Raydi dijatuhi hukuman lima tahun penjara pada tahun 2003 di bawah UU Anti-Terorisme, kemudian dianugerahi grasi kerajaan pada tahun 2005. Dua tahun setelah kebebasannya, Raydi melakukan aksi teror serupa. Kasus lain adalah Dr. Ayman al-Zawahiri yang pernah di penjara pada tahun 1981–1984 karena kegiatan para jihadis di Mesir. Ketika dibebaskan, ia kembali melakukan jihad, bahkan lebih gigih dan radikal dari sebelumnya. Kasus lain adalah Hassan El Khattab yang ditangkap pada Agustus 2006 karena mendirikan sel-sel Ansar Al Mahdi di berbagai kota Maroko. Dilaporkan bahwa dia telah membuat rencana untuk proyek jihadnya ketika berada di penjara tempat dia dikirim karena implikasinya dalam sel teror yang kemudian dikenal sebagai sel kelompok Assaika. Sebelumnya pada tahun 2003, Khattab dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan dibebaskan pada akhir Desember 2005 (Pluchinsky, 2008: 185). Artinya, satu tahun setelah kebebasannya Khattab menjadi residivis untuk kasus yang sama. Tak hanya dunia, Indonesia juga memiliki kasus serupa.


Nah fakta ini seolah membenarkan bahwa para jihadis dalam penelitian Ian Chalmer dalam Countering Violent Extremism in Indonesia: Bringing Back the Jihadists, (2017) yang menunjukkan masih kuatnya radikalnya. Mereka hanya berhenti sejenak, dan ketika ada hal-hal yang memungkinlan mereka terjun, maka sangat mudah dilakukan


Parameter Deradikalisasi


Saat ini, berderet penelitian mutakhir mengungkap tumbuh kembangnya radikalisme di masyarakat yang seolah kian menjadi “samsak” menghujamnya pukulan bertubi terhadap deradikalisasi. Sampai-sampai, muncul anggapan “deradikalisasi gagal” karena memandang deradikalisasi berjalan secara tidak konsisten dan berkesinambungan. Otokritik perlu dilayangkan, terkait efektivitas deradikalisasi. Benarkah deradikalisasi mengalami “kegagalan”? Tentunya, masih perlu “uji kelayakan”.


Rasanya, tak bisa serta-merta untuk “mengukur” deradikalisasi dengan penampakan yang hanya sejauh pandang. Menetapkan ukuran Ukuran boleh ada, tetapi hasil bisa beda. Santoso dulu pernah mengikuti program deradikalisasi, tetapi kemudian lebih memilih menjadi teroris hingga akhir hayatnya. Abu Tholut yang juga mengikuti program deradikalisasi di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) akhirnya sekarang ikut terlibat aktif dalam program deradikalisasi melalui ceramah dan tulisan yang men-counterpikiran radikal terutama ISIS.


Hal serupa juga terjadi pada Sufyan Tsauri, Iqbal Husaini, dan Khairul Ghazali yang kini ikut berkiprah dalam deradikalisasi. Sudah cukup banyak peneliti yang menetapkan “ukuran” terhadap keberhasilan deradikalisasi. Kemudian, para peneliti ini menyodorkan timbangan yang dipandang memiliki tingkat akurasi memadai. Misalnya saja, ukuran sukses deradikalisasi yang dipaparkan Elaine Pressman (2009), yaitu para napi teroris dan mantan napi teroris terlihat sudah mulai menolak ideologi yang kaku, penolakan terhadap kekerasan, ada bukti mereka melakukan perubahan ke tujuan-tujuan non-kekerasan, mereka mempunyai motivasi untuk melakukan deradikalisasi, dan ada dukungan komunitas dalam proses deradikalisasi.

Akan tetapi, ukuran yang ditawarkan ini tidaklah baku. Ini sifatnya hanya sebagai indikator umum. Ada kesepakatan bahwa ukuran keberhasilan deradikalisasi tak bisa tunggal (one size fits all). Keberhasilannya sangat bergantung pada konteks dan latar belakang individu masing-masing, kendati bisa ditarik indikator-indikator umum.


Mafhum bahwa deradikalisasi bertujuan untuk menurunkan “tensi” paham-paham kekerasan yang sudah melekat dan merasuk dalam pikiran. Secara karakter, kelompok radikal selama ini menjadikan kekerasan sebagai cara dan solusi yang niscaya. Dengan adanya deradikalisasi, diharapkan bukan lagi kekerasan yang menjadi titik pijak dan solusi, tetapi kesadaran dan tindakan untuk mengistimewakan musyawarah dan toleransi tanpa ada unsur kebencian dan kekerasan. Sebab musababnya bisa karena pemahaman agama yang tidak utuh (syamil), yang kemudian membuat seseorang bertindak kalap (syiddah al-tanathu’). Cara pandang yang sempit dalam mencerna setiap kejadian menjadi pangkal tindakan ngawur.

Dalam program deradikalisasi yang ditekankan adalah kesadaran bersedia berdialog. Mereka diperlakukan layaknya manusia, penghormatan, kesantunan, penuh persaudaraan, serta tidak merendahkan. Dengan begitu, deradikalisasi menjadi manhaj (metode) untuk mengubah seseorang menjadi lebih toleran, yang dimulai sejak dalam pikiran. Karena itu, yang diharapkan adalah tidak akan ada lagi kebencian, dendam kesumat dan kesalahpahaman. Tidak akan ada lagi sikap dan tindakan mudah mengafirkan orang lain, hanya karena perbedaan pandangan.


Deradikalisasi memang menempuh jalan berliku. Ia tidak simsalabim. Tamsilnya, kita menapaki jalan terjal penuh kelok, maka untuk mencapai jalan yang lempang kita juga harus siap kembali menapaki jalan terjal. Dalam menjalankan deradikalisasi, agar bisa mencapai jalan lempang, kita harus siap untuk terus melakukan terobosan-terobosan dan kreasi dalam hal pendekatan, sejalan dengan dinamika yang ada, baik menyangkut penilaian terhadap kondisi yang membuat seseorang menjadi radikal, hingga menyesuaikan dengan perkembangan zaman.


Deradikalisasi yang dilakukan selama ini juga hendak menjawab kekhawatiran para mantan teroris, ketika sudah terjun ke masyarakat. Intinya, deradikalisasi mencakup aspek kemanusiaan, pendidikan (mengajarkan moderasi), kepedulian sosial dan pemberdayaan secara ekonomi. Secara operasional, dalam deradikalisasi ada identifikasi yang merupakan rangkaian awal dari empat tahapan yang akan dilaksanakan, yaitu identifikasi, rehabilitasi, reedukasi dan resosialisasi.


Proses identifikasi memiliki makna yang penting bagi warga binaan yang akan mengikuti tahapan program deradikalisasi yang berkelanjutan, bersambung dan memberdayakan kehidupan, baik bagi mereka yang sedang berada di dalam lapas maupun yang telah berada di tengah masyarakat.


Tim Partikelir Literasi


Menangani deradikalisasi butuh kecermatan dalam menelisik varian dan tipologi mereka. Oleh karena itu, “tim kombatan” deradikalisasi perlu berbekal pengetahuan dan pengalaman yang memadai. Mereka harus mampu menaksir, menakar, dan menilai seraya memiliki keterampilan komunikasi yang baik. Setiap pertemuan dengan sasaran, mereka harus senantiasa berlaku sabar, santun dan lembut. Mereka menjadi pendengar setia segala keluh kesah para napi teroris.


Dalam bekerja, tim harus memastikan kesinambungan, baik dalam hal dukungan kebijakan maupun merespons panggilan pribadi para napi teroris. Sehingga, tak mengherankan terjalin hubungan yang baik antara anggota tim dan para mantan napi teroris, keluarga, serta jaringannya. Bukankah keberadaan teroris bagaikan “hantu”? Mereka bisa bergentayangan di mana-mana. Aksinya pun tak bisa ditebak, tiba-tiba menggelegar dan membuat publik gemetar. Apalagi yang dilakukan oleh apa yang disebut lone wolf.


Sungguh, ini fakta yang dilakukan oleh kalangan “teroris aktif”. Untuk para mantan teroris yang sudah bebas dari penjara, keberadaannya memang sudah terdeteksi karena lazimnya sudah terdata di lapas. Hanya saja, mereka tak jarang pindah alamat sehingga langkah menemui kadang tidak mudah. Sementara untuk jaringan yang sering kali sulit dideteksi, untuk mengungkapnya perlu berbagai pendekatan kepada para “narasumber”, yaitu mantan napi teroris.


Di sinilah peran tim deradikalisasi ‘Partikelir’ yang melakukan perburuan terhadap jaringan radikal secara senyap. Mereka ibaratnya Ghostbuster, tetapi bukan untuk “menghabisi”, melainkan melalui “jalan damai” mendekati dan merangkul para anggota jaringan, dengan tujuan menetaskan kesadaran kebangsaan dan keagamaan moderat. Jika aksi teroris membuat galau masyarakat, aksi tim deradikalisasi ini berperan melempangkan jalan menuju rasa aman kepada masyarakat. Pasokan data yang dihasilkan dapat menjadi rujukan untuk melihat peta terorisme berikut jaringannya. Kesimpulannya, deradikalisasi tetap harus berjalan, bukan sekadar basa-basi. Program ini perlu dilakukan secara lebih baik dan terukur seiring dengan dinamika terorisme yang kian mengganas.


Karenanya, pemerintah perlu melibatkan secara massiif dan intensif ‘Tim Deradikalisasi Partikelir’ yang terserak di LSM. Pelibatan ini bisa dilakukan mulai eksnapiter bebas hingga pendampingan yang berkelanjutan. Mereka punya ketrampilan dan lebih dari itu punya ’passion’ atau ghirah yang tinggi. Mereka bekerja bukan secara ex officio, tapi penuh gairah kedirian untuk ikut bergabung dalam pemulihan dan pemberdayaan eksnapiter. Terlebih pada mereka yang bergerak melalui pendekatan literasi. Selama ini mereka bergalang-gulung masuk langsung ke rumah-rumah eks napiter mengajar untuk literasi dengan mengumpulkan warga sekitar. Mereka didorong untuk menjadi ‘jihadis literasi’. Terorisme adalah paham yang menyerang otak atau pikiran, karenanya perku diterapi dengan asupan literasi yang mengarah pada perbaikan sel-sel pikirannya melalui literasi. Percayalah tanpa literasi yang tepat, idiologi terorisme masih akan bersemayam dalam pikiran mereka.


Deradikalisasi yang sukses—mengutip hasil penelitian Ian Chalmers dalam Countering Violent Extremism in Indonesia (2017)–lebih mungkin penekanan ditempatkan pada tindakan berbasis masyarakat. Masyarakat lebih ‘bertaring’ dibanding aparat atau instansi pemerintah. Deradikalisasi yang dilakukan oleh kekuatan masyarakat lebih mudah mendekati eks jihadis dan kalangan terpapar radikal, kemudian mengajak mereka berkawan selanjutnya melakukan kegiatan yang bermanfaat. Karenanya, deradikalisasi tak sekedar dilakukan ‘sekali pukul’, lalu kembali senyap. Seperti halnya para eks napiter sejatinya mereka hanya berhenti sejenak, dan ketika ada hal-hal yang memungkinkan mereka terjun, maka tak mustahil mudah dilakukan.


Dalam deradikalisasi yang sudah dilakukan dengan berbagai cara, kini, saatnya kembali pada salah satu ‘pilar’ dalam kemajuan berbangsa, yaitu penguatan literasi. Tantangan kian menguatnya ‘militansi kalap’ serta meluapnya fenomena ‘kematian kepakaran’ justru semakin membuktikan bahwa gerakan literasi yang kaffah harus terus ditumbuhkan dengan penuh militan.


Kita menghadapi orang-orang kalap yang terbelingut oleh idiologi. Idiologi—menyitir Ranya Ahmed (2018)–memiliki pengaruh yang kuat yang dapat menjelaskan tindakan individu dan kelompok. Terpatri diktum “ideologi menetapkan siapa musuh”. Ideologi memiliki pembenaran panjang untuk tindakan politis. Pandangan dunia memiliki keputusan, dan tindakan yang dipandu baik dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan


Menandingi fakta ekstremisme ini, kita memang tetap butuh deradikalisasi yang lebih berorientasi pada deidiologisasi. Deradikalisasi tetap harus terus menjadi tujuan akhir, jika hanya karena alasan praktis bahwa teroris yang mulai melepaskan diri dapat mengulang kembali. Para jihadis ini dengan beberapa tipologisnya tetap mempertahankan keyakinan mereka meskipun telah menghabiskan bertahun-tahun di penjara.


Walhasil, mereka yang tercerahkan adalah mereka yang gigih kembali ke literasi. Literasi mampu membuka ‘syaraf’ ekstrim untuk dicairkan dan diluruskan kembali agar tidak mengalami penyumbatan pembuluh kesadaran kritisnya. Inilah insan-insan berkualitas organik yang akan menabur kearifan dan kedamaian. Para eksnapiter harus dipandang sebagai insan-insan yang bisa dirubah haluannya dari ‘jihadis teror’ ke ‘jihadis literasi’ sebagai rintisan mewujudkan ‘jihad baru’. Mereka ini pula yang akan mampu mengabdi pada kebajikan berbasis keilmuan. Dari sinilah, lanskap-lanskap dan wajah masa depan Indonesia ditentukan.


Penulis adalah Direktur Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)11 


Berita Terbaru

Kajian Bulanan Yayasan FKAAI “Meningkatkan Keimanan Dengan Persaudaraan”.

Jakarta, FKAAI – Seorang muslim tidaklah cukup hanya dengan menyatakan keislamannya tanpa berusaha untuk memahami Islam dan mengamalkannya, beberapa hadits Rasulullah shollalloohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah no. 224) dan “Barang siapa menelusuri jalan untuk mencari ilmu padanya, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim). Berdasar tuntunan diatas Yayasan FKAAI pada hari Ahad (24/11/2024) kembali mengadakan kajian bulanan, yang merupakan program rutin Yayasan FKAAI setiap bulannya, dan pada kesempatan kali ini kegiatan dilaksanakan di Kantor Yayasan FKAAI di Gg. H. Sofiah No.21A, RT.5/RW.6, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Tema yang diangkat dalam kajian bulanan November ini adalah “Meningkatkan Keimanan Dengan Persaudaraan”. Kajian yang diikuti oleh anggota Yayasan FKAAI beserta keluarganya (sekitar 50an peserta) ini diisi oleh Ustadz Zahroni (Mbah Zarkasih) dan Ustadz Nasir Abas (Pembina Yayasan FKAAI). Mbah Zarkasih dalam penyampaiannya sangat menekankan pada pentingnya bersandar pada para Ulama/orang yang berilmu dalam masalah-masalah agama,“FAS’ALU AHLADZDZIKRI INKUNTUM LAA TA’LAMUN.” Artinya “Maka bertanyalah kepada ahlu-dzdzikr jika kamu tidak mengetahui”. Pesan Mbah Zarkasih Sementara itu, Pembina Yayasan FKAAI Nasir Abas dalam penyampaiannya, pentingnya mengikuti apa yang menjadi tujuan diutusnya Nabi Muhammad shollalloohu ‘alaihi wa sallam,“Innamaa bu’itstu laa tammima makaaramal akhlaq.” Artinya: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak mulia.” ujar Ustadz Nasir Abas. Acara kajian bulanan ini diharapkan menjadi salah satu penguat hubungan persaudaraan antar anggota Yayasan FKAAI, juga sarana silaturahmi dengan tokoh agama, apparat pemerintah serta Lembaga lainnya, yang juga diundang dalam setiap acara kajian bulanan seperti ini. Selanjutnya kajian dilanjutkan dengan tanya jawab, doa penutup dari Ustadz Mbah Zarkasih dan foto Bersama para peserta kajian.

Read More »
peluncuran buku tony soemarno

The Power of Forgiveness :

Antara Penyintas Bom dan Mantan Pelaku Terorisme 5 Agustus 2023 merupakan Hari Peringatan 20 Tahun Tragedi Bom JW Marriott. Peristiwa ledakan bom di hotel JW Marriott di Kawasan Mega Kuningan, Jakarta pada 5 Agustus 2003 tersebut menyisakan duka mendalam bagi korban, dan juga merupakan cacatan hitam bagi kemanusiaan. Ledakan yang terjadi di hotel JW Marriott berasal dari bom mobil bunuh diri dengan menggunakan mobil. Sejumlah saksi mata yang ditemui di sekitar lokasi kejadian saat itu, dan juga yang berada di rumah sakit mengisahkan bahwa ledakan sangatlah kuat. Bom tersebut menghancurkan seluruh restoran hotel, lobby, bahkan lantai dasar bangunan hotel. Hingga kini, ledakan bom di JW Marriott tercatat menewaskan 14 orang dan mencederai 150 orang, yang sebagian menderita luka ringan, dan sebagian lainnya menderita luka serius yang permanen. Pada 5 Agustus 2023, Yayasan FKAAI bekerjasama dengan Yayasan Keluarga Penyintas (YKP), menyelenggarakan sebuah acara yang berjudul “Memperingati 20 Tahun Tragedi Bom JW Marriott dan Bedah Buku ‘The Power of Forgiveness : Memoar Korban Bom JW Marriott’”. Dengan didukung oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan POLRI (Densus 88 Anti Teror). Acara diselenggrakan di SHAN Café & Gallery, Atrium Lippo Mall Plaza Semanggi, Jakarta. Yayasan FKAAI dan YKP mengundang 30 orang korban bom beserta keluarga, 40 orang mantan napiter, mantan kombatan, dan mantan jaringan beserta keluarga, juga mengundang perwakilan dari kalangan mahasiswa, media, dan para pemangku kepentingan dari pemerintahan. Acara juga disiarkan secara langsung melalui kanal media sosial Yayasan FKAAI. Dalam kesempatan ini, turut digelar acara Rekonsiliasi antara para penyintas dan para mantan napiter. Saat para mantan napiter berhadapan di atas panggung acara bersama para penyintas, Umar Patek mewakili mantan napiter menyampaikan permintaan maaf kepada para korban atas segala perbuatan yang sangat merugikan bagi korban yang hadir di acara ini, maupun yang tidak dapat hadir. Mantan napiter Hisyam alias Umar Patek meminta maaf kepada para korban bom Hotel JW Marriot. “Assalamualaikum, saya Hisyam yang biasa dipanggil Umar Patek dan teman-teman para mantan napiter kami memohon maaf, atas semua dosa-dosa yang pernah kami lakukan terhadap bapak ibu semua dan saudara-saudara kita yang tidak bisa hadir di tempat ini,” kata Umar Patek. Beliau berharap permohonan maaf itu bisa menjadi peringan dari yaumul hisab. Umar Patek menyadari segala perbuatan di dunia, termasuk aksi teror bom Hotel JW Marriot pada 2003 silam akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah Ta’Ala di akhirat kelak. “Sekalipun saya pernah mencegah, tapi tidak berhasil. Saya tetap dihantui kesalahan terus menerus. Demikian pula dengan teman-teman yang lain, semoga mau memaafkan kami,” Ujar Umar Patek dengan suara parau dan berlinang air mata. Setelah menyampaikan permohonan maaf, Umar Patek dan rekan-rekan mantan napiter lainnya langsung menyalami para korban yang juga hadir dalam acara peringatan 20 tahun tragedi Bom Marriot. Para korban juga langsung menyambut permintaan maaf tersebut. Salah satu perwakilan korban menyampaikan dia ikhlas dan bersedia memaafkan mantan Napiter yang melakukan pengeboman. Menurut salah satu korban yang tidak disebutkan identitasnya itu, walau berat tapi ia percaya Allah Maha Pemaaf. “Kita cuma manusia biasa semoga bapak semuanya tidak mengulangi lagi, bertaubat, benar-benar berada di jalan Allah yang tidak sesat, semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah SWT. Semoga tidak ada lagi pengeboman atau apapun di Indonesia khususnya, kami maafkan pak,” kata salah satu korban itu di sela-sela tangisnya. Suasana acara menjadi sangat emosional dan menyentuh relung hati tiap orang yang hadir menyaksikan momen langka tersebut. Lelehan air mata mengalir dari para korban, mantan pelaku, pun tamu undangan lainnya. Namun itu bukanlah air mata akibat meratapi nasib yang lalu, melainkan karena merasakan haru akan rasa kedamaian yang mulai tumbuh dari permintaan maaf yang disambut dengan penerimaan yang lapang dada. Sungguh sebuah tindakan luar biasa dari para korban, dengan keluasan hati dan kekuatan batin untuk menerima permintaan maaf dan mau memaafkan orang yang pernah menyakitinya. Semoga hal ini menjadi awal baik untuk kesatuan dan persatuan bangsa Acara ditutup dengan bedah buku The Power of Forgiveness karya Tony Soemarno salah satu penyintas bom JW Marriot 2003. Acara Bedah Buku ini menghadirkan Tany Soemarno selaku penulis buku, Umar Patek sebagai narasumber yang merupakan mantan napiter, dan Mohd Adhe Bhakti, seorang peneliti Terorisme dan Direktur Eksekutif PAKAR, dan Dr. Zora A. Sukabdi seorang Peneliti dan Dosen UI sebagai Moderator. Secara garis besar, buku ini menceritakan sebuah perjalanan hidup yang tidak biasa, sejak beliau menjadi korban bom JW Marriott 2003 hingga menjadi aktivis deradikalisasi yang aktif mengunjungi dan berdiskusi dengan para narapidana kasus teror di dalam penjara. Perjalanannya mengunjungi napiter dari berbagai lapas, sebagai upaya untuk memaafkan dan membantu mereka menemukan jalan terang dalam hidupnya. Kisah beliau sangat inspiratif untuk dibagikan dalam mencegah terulangnya perbuatan aksi terorisme. Tanggapan menarik yang diberikan oleh Mohd Adhe Bhakti adalah bahwa Ia percaya akan kekuatan dari memaafkan yang dituliskan oleh Tony Soemarno dalam bukunya, sebagaimana Adhe Bhakti juga percaya akan kekuatan dari perubahan. Bahwa setiap orang bisa berubah, seperti contoh nyata yaitu seorang yang sekarang telah menjadi kawan di sampingnya, Umar Patek. Yayasan FKAAI berharap dengan menyelenggarakan acara Peringatan 20 Tahun Tragedi Bom JW Marriott dan Bedah Buku “The Power of Forgiveness : Memoar Korban Bom JW Marriott” karya Tony Soemarno ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya terorisme agar kedepannya tidak terulang lagi tragedi-tragedi serupa di tanah air Indonesia.[]

Read More »

20 Tahun Tragedi JW Marriott : Bukan soal Meratapi Tragedi, Namun Menjadi Pembelajaran Agar Tidak Terjadi Lagi Aksi Teror di Tanah Air Kita

Yayasan FKAAI kembali mengadakan acara peringatan tragedi bom JW Marriott pada hari Sabtu, 5 Agustus 2023 lalu di Shan Café & Gallery, Atrium Lippo Mall Plaza Semanggi, Jakarta. Kegiatan ini berjudul “Memperingati 20 Tahun Tragedi Bom JW Marriott dan Bedah Buku ‘The Power of Forgiveness : Memoar Korban Bom JW Marriott” […]

Read More »

Pesona Wanita Khawarij

Pesona Wanita Khawarij  Ustad Sofyan Tsauri Salah satu penyerangan Polsek Astana Anyar Bandung, ternyata menyimpan cerita yang haru, tsk Agus Suyatno di khulu’ oleh istrinya, lalu menikah dengan dengan kawannya sendiri sesama kasus terorisme, singkat cerita Agus dan kawannya ini bebas bersama, terlihat mantan istri dan anaknya menjemput di seberang pulau Nusakambangan. Anaknya Agus Suyatno, bingung melihat Abinya, antara menjemput ayahnya yang baru atau Abinya yang asli, ternyata dia menjemput ayahnya yang baru, sepanjang perjalanan dari Nusakambangan ke Bandung terlihat Agus Suyatno menangis sedih, melihat istrinya dan anaknya bukan menjemput dirinya. Alasan di khulu’ karena Agus Suyatno di anggap murtad, karena dekat dengan kawan-kawannya yang NKRI, istrinya tidak sudi mempunyai suami yang murtad, waallahu alam, hal ini mengingatkan saya tentang kisah wanita khawarij di bidayah wan Nihayah Ibnu Katsir di dalam bidayah wan Nihayah juz 7 halaman 314, menyebutkan kisah Ibnu Muljam. فأما ابن ملجم فسار إلى الكوفة فدخلها وكتم أمره حتى عن أصحابه من الخوارج الذين هم بها، فبينما هو جالس في قوم من بني تيم الرباب يتذاكرون قتلاهم يوم النهروان إذ أقبلت امرأة منهم يقال لها قطام بنت الشجنة، قد قتل علي يوم النهروان أباها وأخاها وكانت فائقة الجمال مشهورة به، وكانت قد انقطعت في المسجد الجامع تتعبد فيه، فلما رآها ابن ملجم سلبت عقله ونسي حاجته التي جاء لها، وخطبها إلى نفسها فاشترطت عليه ثلاثة آلاف درهم وخادماً وقينة. وأن يقتل لها علي بن أبي طالب, قال : فهو لك ووالله ما جاء بي إلى هذه البلدة إلا قتل علي، فتزوجها ودخل بها ثم شرعت تحرضه على ذلك… (garis kuning) “Adapun Ibnu Muljam ia pergi menuju Kufah dan merahasiakan urusannya terhadap teman-temannya bahkan sesama Khawarij yang bersamanya. Ketika ia duduk-duduk bersama beberapa orang dari bani Rabab mereka saling meng- ingat korban-korban mereka pada waktu perang di Nahrawan, tiba-tiba lewatlah seorang perempuan yang bernama Qutham bin Syajnah, yang bapak dan saudaranya terbunuh dalam perang Nahrawan ketika melawan Ali radhiyallahu anhu. Kecantikan Qutham sudah sangat terkenal, dan saat itu ia berjalan menuju masjid jami’ untuk beribadah. Ketika Ibnu Muljam melihatnya, ia menjadi tergila-gila dengan kecantikan Qutham hingga ia lupa dengan keperluannya, lalu ia melamar Qutham untuk dinikahinya. Perempuan itu memberi syarat agar ia diberi 300 ribu dirham, seorang pembantu dan seorang budak perempuan, serta agar ia membunuh Ali radhiyallahu anhu untuk membalaskan dendamnya. Ibnu Muljam berkata, ‘la (Ali) milikmu, demi Allah aku tidak datang ke negeri ini kecuali karena ingin membunuh Ali.’ Maka ia menikahinya dan masuk ke dalamnya dan segera wanita itu menyemangatinya untuk itu (membunuh Ali)… Di dalam hadist Bukhari dan Muslim, kita akan dapatkan seorang Rowi yang bernama Imron bin Hattan, seorang Tabi’in yang tergoda pesona kecantikan Hamnah, dan saya dapatkan kan lagi bidayah wan Nihayah di juz 8 عمران بن حطان الخارجي كان أولا من أهل السنة والجماعة؛ فتزوج امرأة من الخوارج حسنة جميلة جدًّا فأحبها، وكان هو دميم الشكل، فأراد أن يردها إلى السنة فأبت؛ فارتد معها إلى مذهبها. “Pada awalnya, Amran bin khattan al Khariji, adalah penganut Ahlussunnah wal Jamaah, lalu ia menikah dengan seorang wanita Khawarij yang sangat cantik, dan ia sangat mencintainya (adapun Imron bin Hattan seorang yang buruk rupa). la ingin kembali menganut Ahlussunnah, namun wanita itu enggan sehingga ia keluar dari ajaran Islam bersama wanita itu dan masuk ke dalam madzhabnya.” Kisah di atas sangatlah banyak, mereka banyak yang ingin tobat, kembali ke NKRI, tetapi meminta agar saya merahasiakan tobatnya, karena takut anak dan istrinya meninggalkan dirinya, saya pun menuliskan masalah ini dengan judul buku Wanita di pusaran Khawarij, ya memang mereka memang sangat militan, sebagaimana Qutham binti Syajnah dan Hamnah, waallahu alam Sofyan Tsauri

Read More »

Kitab Al-Ibanah An Ushulid Diyanah

Kitab Al-Ibanah An Ushulid Diyanah  Ustad Sofyan Tsauri Saya punya dua kitab yang berjudul Al-Ibanah An Ushulid Diyanah karya Al-Imam Abu Hasan Al-Asy’ari, kitab pertama saya beli di tahun 2008 di pasar Senin Jakarta, terbitan DKI (Darul Kutub Ilmiah) Beirut Lebanon cetakan kedua tahun 1426-2005 M. Kitab kedua yaitu percetakan Darul bayan, cetakan ke 4 tahun 1442-2021 M, saya beli dengan Gus Nasrul belum lama ini, dengan tahqiq Syaikh Hamad bin Muhammad Al-Anshari Al- Khazraji al-Saadi, seorang ulama yang berasal dari Mali, pesisir Afrika yang lahir pada tahun 1924, hijrah ke Mekkah karena penjajahan Perancis saat itu. Beliau bertemu Syaikh Abdul-Latif bin Ibrahim bin Abdul-Latif Alu Syeikh dan Muhammad bin Ibrahim Alu al-Syeikh yang merupakan cicit keturunan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, lalu Syaikh Hammad di rekomendasikan belajar di Najd (Riyadh sekarang) setelah itu beliau menjadi pengajar di fakultas syari’ah universitas Madinah. Beliau menulis dalam Mukadimah cetakan Darul bayan Damaskus, di halaman 21 beliau mengatakan وأن الله مستو على عرشه كما قال : ( الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْش استوى)وأن له وجهاً كما قال : ﴿ وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِوَالْإِكْرَامِ ). وأن له يدين بلا كيف كما قال : لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ ) وكما قال : ﴿ بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ )وأن له عينين بلا كيف كما قال : ﴿ تَجْرِي بِأَعْيُنِنَا )وأن من زعم أن أسماء الله غيره كان ضالاً . Fix mereka meyakini Allah bertempat, mempunyai wajah, memiliki dua tangan, memiliki dua mata dengan Bila Kaif, waallahu alam Lalu di dalam Bab ke 7 di halaman 92, cetakan Darul bayan Damaskus ini juga menambahi kata2 استواء : يليق به من غير طول الاستقرار، Kalimat (stabilo orange) cetakan Maktabah Dar al-Bayan hal.92 استواءً يليق به من غير طول الاستقرار Akan tetapi tidak terdapat pada cetakan Dar al-Kutub Al-Imiyyah hal.46. Sehingga kalangan awam memahaminya dengan artian bahasa yaitu bersemayam, duduk, menetap, dengan kata lain yaitu menempati ‘Arasy, jelas ini sifat makhluq bukan Kholiq Ini beberapa sekelumit dan yang musykil, sepertinya kita harus berhati-hati membeli kitab, saya khawatir adanya madsus (susupan) aqidah mujasimah lalu tahrif atau mungkin ada yang Saqoth (hilang ibarot) di beberapa kitab lainnya yang serupa, waallahu alam. Sofyan Tsauri

Read More »

Aqidah Salaf Abu Manshur Al -Maturidi (w. 333 H)

Aqidah Salaf Abu Manshur Al -Maturidi (w. 333 H)  Ustad Sofyan Tsauri Umur Abu Mansur Al-Maturidi(w. 333 H) lebih tua dari al-Imam Abu Hasan Al-‘Asyari, guru-guru beliau di antaranya Abu Sulaiman Al-Juzjani lalu Abu Sulaiman belajar dengan 2 murid terbaik Imam Abu Hanifah yaitu Al-Qadhi Abu Yusuf (w.182 H)dan Muhammad bin Hasan Al-Syaibani (w. 189 H) Imam Abu Hanifah sendiri mempunyai kitab Aqidah yang berjudul Fiqh Akbar yang kemudian di Syarahi oleh Abu Mansur Al-Maturidi, artinya Aqidah Al-Maturidi sangat di pengaruhi oleh Aqidahnya Imam Abu Hanifah, demikian sanad Abu Mansur Al-Maturidi yang bersambung ke Imam Abu Hanifah, sementara Abu Hanifah merupakan produk dari madrasah Ahlu ro’yi dari ulamanya sahabat nabi yaitu Abdullah Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhuma. Di sinyalir kitab Fiqhul Akbar adalah kitab tertua yang berbicara tentang Aqidah, argumentasi nalarnya tidak melampaui sebagaimana Mu’tazilah, demikian Abu Zahrah mengatakan. إن منهاج الماتريدية للعقل سلطان كبير فيه من غير أي شطط أو إسراف والأشاعرة يتقيدون بالنقل ويؤيدونه بالعقل. Sesungguhnya manhaj Al-Maturidi telah menggunakan argumentasi nalar (dalil aqli) dengan porsi yang cukup besar namun tanpa melampaui botas atau berlebihan. Sedangkan manhaj Al-Asy’ari berpegang teguh dengan dalil nagli dan mengukuhkannya dengan argumentasi nalar akal (dalil agli) (Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyah, Kairo Dar Al-Fikr, 2008 jilid 1 hal 212) Lalu dari Al-Maturidi inilah banyak melahirkan beberapa kitab, artinya madzhab Aqidah Al-Maturidi terverifikasi oleh ulama-ulama berikutnya seperti Kitab al-Musayarah Fii al-Aqa’id al-Munjiyah Fil al-Akhirah adalah sebuah kitab akidah karya Al-Imam al-Kamal Ibnu al-Humam al-Maturidi rahimahullahu ta’aala (w. 861 H). 18. Kitab Muljimatu al-Mujassimah, Kitab Muljimatu al-Mujassimah adalah sebuah kitab akidah karya Al- Imam Alauddin al-Bukhari al-Maturidi rahimahullahu ta’aala (w. 841 H). Diantara para ulama dari kalangan madzhab Maturidiyah yang mensyarah kitab al-Aqidah at-Thahawiyah adalah Al-Imam Akmaluddin al-Babarti, Al-Imam Syuja’uddin at-Turkistani dan Al-Imam Sirajuddin al-Ghaznawi. Kitab ini merupakan syarah atau penjelasan kitabnya Al-Imam Abu Hanifah yang berjudul al-Fiqh al-Akbar. Dengan kitab syarah ini kita bisa melihat Salafi Wahabi yang mencoba untuk merubah atau memelintir isi kitab al-Fiqh al-Akbar karya Al-Imam Abu Hanifah. Sebagaimana kitab-kitab Fiqh juga melalui proses verifikasi dari Ashah dan Ashab nya, sehingga lahirlah sebuah Madzhab Fiqh yang mu’tamad (paten), demikian dalam madzhab Aqidah, melalui proses yang panjang, sehingga Madzhab fiqh Hanafiah dan madzhab Aqidahnya, tersebar dan membentang dari Eropa timur, Turki, Asia Tengah, Asia selatan Hindustan hingga ke Burma Rohingya, 46 persen dari populasi 1,7 milyar manusia, berpegang pada mazhab Fiqh dan Aqidah ini, demikian Aqidah Asya’irah juga membentang dari ujung Afrika Utara, di mulai negeri Maroko hingga ke Merauke Indonesia, Inilah Suwadzul ‘Adzhom sesungguhnya Waallahu’Alam (Bersambung). Sofyan Tsauri

Read More »