Yayasan FKAAI

The End Of Jamaah Islamiyah And The Last Terror?

Facebook
Twitter
LinkedIn

The End Of Jamaah Islamiyah And The Last Terror?

27 Oktober 2022


Penulis: Gus Soffa Ihsan


Jakarta. Penangkapan terhadap kelompok Jamaah Islamiyah (JI) tengah bertubi-tubi. Pihak berwenang tampaknya tak mau lagi kecolongan terjadinya kasus terorisme hingga semua yang yang berjejaring dengan JI harus dilibas. Parawijayanto dan Zulkarnaen, petinggi JI yang sedari lama bersembunyi berhasil ditekuk. Tidak hanya menyikat (hard power), tapi pihak berwenang juga memberikan pengampunan dosa melalui selebrasi ikrar untuk kembali ke NKRI bagi mereka semua yang terhubung dengan JI. Ratusan orang-orang JI di beberapa daerah seperti Lampung, Tangerang, dan lainnya sudah berikrar kembali ke NKRI serta membubarkan diri dari JI. Suatu kebijakan dan dorongan dari pemerintah yang humanis, dalam penanggulangan terorisme di Indonesia. Sangat jauh beda dengan misalnya di negara jiran, Singapura yang tegas tanpa ampun. Kasus Fajar Taslim, napiteroris asal Singapura yang 2022 lalu bebas dari Nusakambangan, langsung dijemput pihak Singapura untuk dijebloskan kembali di penjara negara pulau itu. Kabarnya, penjara Singapura jauh lebih seram dibanding Nusakambangan. Saat saya silaturahmi ke rumah istri Fajar Taslim di sebuah daerah di Jateng beberapa waktu lalu, terungkap pengakuan Fajar Taslim lewat istrinya bahwa penjara di Indonesia seperti laiknya hotel. Perlakuan pemerintah Indonesia sangat manusiawi. Ini yang membuat Fajar Taslim sendiri dalam pengakuan istrinya ingin tinggal di Indonesia.


Nah, kini menyisakan pertanyaan, penangkapan beruntun terhadap petinggi dan anggota JI oleh aparat di Indonesia, akankah menjadikan kelompok JI menurun atau bahkan tamat? Bagaimana forecasting terhadap eksistensi dan dinamika sebuah kelompok teroris yang memiliki sanad sejarah panjang teror tersebut?.


Sanad Al-Qaeda Ke JI

Kasus-kasus terorisme yang terjadi di Indonesia dan dunia sebelum kemunculan ISIS, banyak dikaitkan dengan Al-Qaeda dan Jamaah Islamiyah (JI). JI merupakan jaringan terorisme globalnya Al-Qaeda. Kelompok teroris JI terlatih di berbagai medan, dari Afghanistan, Thailand, Malaysia, dan Filipina. Dalam skala global, Al-Qaeda turut mempengaruhi pola serangan yang dilakukan JI. Eksistensi Al-Qaeda lebih dari sekedar perebutan kekuasaan dalam gerakan jihadis. Al-Qaedai memiliki penentuan musuh utama, strategi, taktik, dan masalah mendasar lainnya.

Al-Qaeda berorientasi jihadisme global dan menyukai serangan-serangan besar dan dramatis terhadap sasaran-sasaran strategis atau simbolis. Serangan di WTC dan Pentagon pada 9/11 adalah yang paling menonjol. Ini sangat beda bila dibandingkan misalnya dengan ISIS yang berkembang dari perang sipil di Irak dan Suriah. ISIS berusaha untuk menaklukkan wilayah demi pendirian suatu Islamic State, dan dengan demikian ia menyebarkan artileri, kekuatan massa dan bahkan tank saat menyapu ke daerah-daerah baru atau mempertahankan daerah yang sudah direbut. Terorisme dalam konteks ini, adalah bagian dari perang revolusioner. Ia digunakan untuk merusak militer, memicu reaksi konflik sektarian atau menciptakan dinamika yang membantu penaklukan di suatu wilayah.


Pengalaman tempur di medan-medan perang yang beragam membuat aksi-aksi teror JI bukan hanya lebih cermat, melainkan juga memiliki daya rusak yang luar biasa tinggi. Serangan Bom Bali I dan II yang dilakukan JI berdaya ledak lebih tinggi dibandingkan teror di Surabaya yang menggunakan bom pipa. Bom Bali I, misalnya, dengan berat 6 ton berhasil menewaskan 202 orang. Serangan yang dilakukan oleh JI lebih mematikan daripada yang dilakukan oleh ISIS/JAD. Pasca dihancurkannya sebagaian besar kekuatan Al-Qaeda oleh AS pada skala global, dan melemahnya aksi JI pasca tewasnya para pemimpin JI seperti Azhari dan Nurdin M Top, posisi JI mulai beringsut menyusut dan lalu gahar dipertontonkan oleh ISIS/JAD.


Kabarnya Al-Qaeda bangkit kembali di Suriah. Muncul kelompok Hurras al-Din, pecahan dari kelompok Hayat Tahrir al-Syam yang sebelumnya bernama Fatah al-Syam dan Barisan al-Nusro. Mereka pecah karena menolak pandangan pemimpin Muhammad al-Julani yang lebih moderat dan pragmatis. Kelompok Hurras al-Din ini disebut-sebut merekrut banyak anggota ISIS yang kabur setelah ISIS tumbang di Irak dan Suriah.

Setelah ISIS/JAD muncul, aksi teror dilakukan lewat jalur lone wolf, serta ada perubahan pada sasaran teror. Sasaran aksi terorisme tidak lagi simbol-simbol Barat seperti dilakukan oleh JI, melainkan justru masyarakat sipil, aparat keamanan, pemerintah, dan istana presiden. Kasus pada 25 Oktober 2022 barusan dipertontonkan oleh seorang perempuan bercadar bersenjata pistol rakitan yang coba terobos istana negara. Beruntung ditangkap oleh polisi. Ini contoh lelaku lone wolf. Amaliyat teror oleh perempuan seperti kasus ini menunjukkan pelaku tanpa jejaring atau dari sel-sel terputus masih menjadi ancaman teror di negeri kita.


Dinamika dan Stagnasi

Di era struktur sel non-hierarki yang didesentralisasi yang mampu mengeksploitasi teknologi informasi dan alat-alat globalisasi, ada kegelisahan baru untuk melakukan pendekatan lain dalam memotret jaringan teroris. Dalam beberapa tahun terakhir, para peneliti terorisme telah mulai memberikan perhatian yang lebih besar pada pertanyaan bagaimana kelompok teroris reda atau berakhir. Fokus inikendati masih belum terlampau banyaktelah menjadi minat yang semakin besar untuk memahami sebagian dari pertanyaan tentang bagaimana kampanye teroris menurun.

Lazimnya, banyak yang melihat pada bagaimana sekelompok organisasi teroris mampu bertahan dan terus melakukan aksinya sekalipun secara mandiri. Misalnya al-Qaeda yang terus bermetamorfosis dengan berbagi ideologi dan bekerja sama satu sama lain. Al-Qaeda mampu menaburkan virus militansinya yang kemudian melahirkan kelompok-kelompok teroris seperti, Front Islam Internasional untuk Jihad melawan Yahudi dan Tentara Salib, juga kelompok-kelompok dari Aljazair, Bangladesh, Mesir, dan Pakistan. Berbagai kelompok yang terhubung dalam beberapa cara termasuk Front Pembebasan Islam Moro (Filipina), Jamaah Islamiyah (Asia Tenggara), Jihad Islam Mesir (yang bergabung dengan al-Qaida pada tahun 2001), al-Ansar Mujahidin (Chechnya), Jama’ah al-Islamiyya Mesir), Gerakan Islam Uzbekistan, kelompok Salam di Aljazair, serta Harakat ul-Mujahidin di Pakistan dan Kashmir. Para jawara al-Qaeda mampu menjalin hubungan yang kuat terutama dengan kelompok-kelompok yang sebelumnya berfokus pada lokal.


Pertanyaan tentang bagaimana gerakan JI berakhir agaknya penting untuk mengaitkan dengan memahami tentang dinamika terorisme secara umum yang didalamnya terdapat kelompok teroris lainnya. Selama ini, pertanyaan tentang bagaimana penurunan kelompok-kelompok teroris tidak dipelajari dengan cermat, dan penelitian yang ada hampir tidak tersentuh. Dalam konteks JI di Indonesia, aparat keamanan fokus pada penangkapan individu maupun jaringan, baik yang beraksi langsung maupun yang terkait dengan jaringan JI sebagai tujuan utama dalam kampanye melawan terorisme. Padahal, penting pula untuk berkonsentrasi pada akar penyebab terorisme dan mendesak kebijakan yang akan menggeret pada kematian JI.


Menarik untuk membandingkan studi Assaf Moghadam (2012), dalam studi kasus penurunan RAF (Red Army Faction), kelompok teroris di Jerman, termasuk mengapa dan berapa banyak anggotanya yang berlepas diri dari terorisme. Dalam penelitian Moghadam, ternyata hanya sebagian kecil anggota RAF yang secara sukarela memutuskan untuk meninggalkan kekerasan dan terorisme. Mayoritas besar anggota RAF ditangkap, dibunuh, atau dikomandoi untuk melakukan perampokan dengan cara yang tidak wajar. Memang, alih-alih mengakhiri kegiatan terorisme mereka, banyak anggota dari RAF begitu berdedikasi pada tujuan mereka sehingga mereka tampaknya rela mati untuk itu. Ini terbukti dari banyak kasus dimana anggota RAF melawan polisi setelah ditangkap. Meskipun sejumlah anggota RAF meninggalkan kekerasan di penjara, sebagian lainnya lainnya memilih untuk bunuh diri.


Pertanyaan mengapa beberapa teroris bertahan setidaknya sama pentingnya, seperti pertanyaan mengapa beberapa dari mereka berhenti? Alasan utama untuk berakhirnya terorisme generasi pertama RAFbegitu temuan Assaf Moghadam (2012)–adalah karena upaya-upaya penanggulangan terorisme yang berhasil dari polisi Jerman. Dalam waktu kurang dari dua tahun pembentukan RAF pada Mei 1970, sebagian besar anggotanya telah ditangkap, termasuk semua anggota terkemuka generasi pertama. Paling tidak tiga individu dari generasi pertama yaitu Beate Sturm, Ulrich Scholze, dan Peter Homann memutuskan untuk meninggalkan kehidupan dalam ilegalitas, sebagaimana mereka menyebutnya, sebelum mereka ditangkap. Namun, ada dinamika interpersonal dan organisasi berperan dalam keputusan pentolan RAF ini untuk meninggalkan terorisme.

Dalam kasus apapun, evolusi dari kesadaran politik pembentukan kelompok teroris ke pelaksanaan serangan teroris adalah proses yang kompleks. Beberapa langkah dalam proses ini dapat berupa aksidental atau oportunistik. Demikian juga, proses menurunnya kelompok teroris mungkin ditentukan oleh faktor bawaan seperti halnya oleh kebijakan atau faktor eksternal. Kelompok dapat membuat keputusan yang buruk, terlibat dalam strategi kontraproduktif, atau sekadar meledak. Ia mungkin juga memiliki tuntutan untuk bertindak misalnya, ia mungkin didorong untuk terlibat dalam serangan teroris untuk mempertahankan dukungan, untuk menopang integrasi organisasi, serta untuk mempertahankan keberadaannya yang berkesinambungan (Audrey Kurth Cronin; 2006)


Hal menarik, diantara kelompok teroris dengan latar belakang beragam, rentang masa hidup rata-rata kelompok teroris kontemporer yang termotivasi oleh agama, atau setidaknya kelompok yang menarik konsep agama sebagai kekuatan penggerak memiliki daya tahan yang luar biasa. Ini menunjukkan kekuatan daya tahan yang melekat dari motivasi yang sakral atau yang didasarkan pada spiritual (Audrey Kurth Cronin: 2006). Dalam kasus JI menunjukkan bagaimana ídiologi JI memiliki daya tahan yang besar kendati sudah dibabat secara cukup massif.


Mencacah Variabel

Efek menangkap atau membunuh seorang pemimpin teroris sangat bervariasi tergantung pada variabel seperti struktur organisasi, apakah pemimpin menciptakan kultus kepribadian, dan kehadiran penerus yang layak. Terlepas dari apakah penangkapan pemimpin mengakibatkan kematian kelompok teroris, cara tersebut biasanya memberikan wawasan kritis tentang kedalaman dan sifat dukungan populer kelompok dan biasanya merupakan titik balik.


Ada beberapa alasan untuk percaya bahwa menangkap seorang pemimpin lebih efektif dalam merusak sebuah kelompok daripada membunuhnya. Tetapi bahkan penangkapan yang memalukan dapat mendukung jika pemimpin yang dipenjara terus melakukan komunikasi dengan kelompoknya.

Bagaimana dengan penangkapan para petinggi JI? Ini memang memunculkan pertanyaan, bagaimana nasib JI dan pergerakan aksi teror di Indonesia usai petingginya dibekuk? Memang banyak yang menyangsikan matinya JI setelah penangkapan para petingginya. Artinya, kelompok JI akan tetap bergerak secara klandestin (tandzim sirri) dengan bermetamorfosa dalam berbagai bentuk. Mereka akan menunjuk pemimpin baru untuk menjaga keberlangsungan organisasi. Begitu pemimpin JI ditangkap akan muncul lagi penggantinya. Kelompok JI tidak tertutup kemungkinan mengubah modus pergerakan yang akan dilakukan. Organisasi yang terstruktur dan bergerak sistemis seperti JI ini justru lebih sulit dibasmi.

Kendati kebanyakan tokoh kunci JI sudah ditangkap oleh Densus 88, tapi masih banyak pula yang hingga saat ini belum ditemukan. Dan pula bukan berarti ancaman serangan akan hilang begitu saja. Penangkapan atau pembunuhan pemimpin organisasi teroris memang terbukti menjadi elemen penting dalam penurunan organisasi. Dari perspektif kontraterorisme, pembunuhan seorang pemimpin teroris dapat didukung dengan menciptakan publisitas yang meningkat untuk tujuan kelompok dan mungkin menjadikan pemimpin itu seorang martir yang akan menarik anggota baru ke organisasi atau bahkan organisasi berikutnya. Che Guevera adalah contoh paling terkenal dari fenomena ini. (Audrey Kurth Cronin ; 2006).

JI terbukti selama ini menggunakan aksi teror sebagai jalan yang menurut mereka sah demi mencapai tujuan. Melihat dari sisi perspektif ini, tujuan yang JI hendak wujudkan belum terpenuhi, kendati militansi mereka tidak mengendur. JI tidak seperti kelompok teroris berbasis separatis yang bisa duduk bersama dengan pemerintah setelah tujuan mereka dipandang berhasil. Disinilah, JI masih sulit untuk diajak berkompromi oleh karena tujuan Daulah/khilafah yang mereka usung jelas bertentangan dengan idiologi NKRI.


Kendati tujuan atau cita-cita yang diusung JI belum tercapai atau memang ini merupakan cita-cita utopia, tetapi dengan restriksi melalui hukum maupun penggalangan masyarakat untuk menolak, eksistensi JI akan menurun. Dengan kategori sebagai organisasi terlarang yang telah disahkan secara hukum oleh negara, langkah pencapaian tujuan JI jelas sudah tertutup atau terkunci mati. Dan ini menjadi langkah untuk melihat secara berangsur penurunan dan bahkan kematian JI di Indonesia.

Pembukaan negosiasi dapat menjadi katalis untuk penurunan atau berakhirnya kelompok-kelompok teroris, yang berpotensi memberikan pengaruh terhadap dampak negatif. Kelompok-kelompok harus ditransformasikan menjadi legitimasi politik dan menjauhi perilaku teroris setelah pembukaan resmi proses politik.


Tetapi, skenario khas untuk penurunan kelompok teroris biasanya jauh lebih rumit daripada sekadar pengejaran atau pencapaian kesepakatan yang dinegosiasikan. Terlepas dari keberhasilan hasil negosiasi yang dapat dihasilkan antara partai-partai besar, efek umum dari proses politik adalah terpecahnya kelompok menjadi faksi yang mendukung negosiasi dan yang tidak.

Pemerintah RI akan menghadapi kesulitan besar ketika bernegosiasi dengan organisasi-organisasi teroris seperti JI ini. Didalam JI sendiri bisa saja akan terpecah ketika diadakan semacam negorisasi, ada yang menolak dan mendukung. Kelompok-kelompok sempalan bilamana terjadi di dalam tubuh JI seringkali lebih kejam daripada organisasi ibu, menanggapi keharusan untuk menunjukkan keberadaan mereka dan memberi tanda perbedaan pendapat mereka. Kelompok-kelompok sempalan dapat dilihat sebagai terlibat dalam “lapisan” terorisme baru sehubungan dengan kelompok asli atau pemerintah mereka sendiri.


Regenerasi dalam jejaring terorisme tak bisa diabaikan begitu saja. Tampilnya pemimpin dalam jaringan terorisme berarti selalu ada regenerasi yang berkesinambungan. Dalam kasus JI, dengan tiadanya sosok kepemimpinan yang dipandang mumpuni dalam bidang keagamaan, bisa menjadi pukulan bagi keberlangsungan jaringan JI. Dan ini, perlahan bisa menurunkan militansi pengikutnya sehingga jaringan menjadi berhenti.

Kelompok-kelompok teroris adalah aktor strategis yang biasanya mempertimbangkan target mereka dan menghitung dampak serangan terhadap populasi konstituen mereka. Namun, perhitungan yang salah dapat merusak penyebab suatu kelompok, yang mengakibatkan anjloknya dukungan masyarakat dan bahkan kehancurannya. Kelompok teroris umumnya tidak dapat bertahan hidup tanpa dukungan aktif atau pasif dari masyarakat di sekitarnya. Contohnya warga mendukung dengan menyembunyikan anggota kelompok teroris, mengumpulkan uang, dan bahkan bergabung dengan organisasi teroris Dukungan pasif, lebih menyebar dan mencakup tindakan seperti mengabaikan tanda-tanda nyata kegiatan kelompok teroris, menolak untuk bekerja sama dengan penyelidikan polisi, mengirim uang ke organisasi yang bertindak sebagai front untuk kelompok, dan menyatakan dukungan untuk tujuan kelompok.


Dalam kasus JI, sebenarnya mayoritas masyarakat tidak banyak yang mendukung. Proses ini sebagai alamiah dimana kekuatan yang mengedepankan kekerasan di Indonesia tidak akan banyak menuai simpati. Mereka yang bersimpati kebanyakan yang sudah terjerumus ke gerakan radikal dan terorisme. Ini memudahkan bagi kategori mereka ini yang bisa masuk di lingkaran JI.


Di kalangan jihadis sendiri sudah terbelah pemahaman tentang amaliyat. Banyak diantara mereka yang sudah menganggap kekerasan dalam mewujudkan perjuangan tidak lagi efektif. Mereka menolak pandangan dan tindakan ISIS. Bahkan banyak diantara mereka yang memandang seperti utamanya terhadap ISIS (JAD) adalah kelompok jihadis yang berlebihan (ghuluw) atau khawarij yang dalam sejarah Islam merupakan kelompok sempalan yang banyak ditinggalkan oleh kaum muslimin saat itu. Berarti, ajaran kekerasan yang kebablasan ini jelas dilarang dalam ajaran Islam. Mereka kemudian lebih memilih di jalur dakwah dengan mendirikan sekolahan, pesantren atau taklim-taklim yang bercorak puritan. Dengan terbelahnya pandangan dikalangan jihadis ini berpotensi semakin mengurangi dukungan terhadap JI.

Penggunaan kekuatan militer telah mempercepat penurunan atau mengakhiri sejumlah kelompok teroris. Dari perspektif negara, kekuatan militer menawarkan sarana yang tersedia yang berada di bawah kendalinya. Meskipun terorisme memang bisa dibilang sebagai bentuk perang, teroris menggunakan kekerasan asimetris. Dalam beberapa keadaan, ini juga berhasil.


Tindakan represif bisa juga berwujud melalui aspek hukum. Dalam kasus JI sudah ada putusan hukum untuk melarangnya. Pengadilan sudah menetapkan bahwa JI melakukan tindak pidana terorisme. Dengan dakwaan tersebut, maka masyarakat dilarang untuk bergabung dengan JI. Apabila terbukti bergabung, maka orang tersebut bisa dikenakan hukuman pidana. Kendati faktanya JI bukanlah satu-satunya organisasi teroris yang ada di Indonesia. Sebab, masih ada faksi-faksi lain yang tidak terhubung dengan JI.


Tindakan represif memang membawa biaya sumber daya dan peluang yang tinggi. Langkah-langkah represif jangka panjang terhadap tersangka operator terorisme JI ini dapat melemahkan dukungan domestik dan menyaring tatanan negara itu sendiri. Lebih lanjut, tindakan represif dapat melemahkan kemampuan JI untuk merespons secara efektif terhadap serangan teroris di masa depan.


The Last Terror?

Perang melawan terorisme mungkin abadi, tetapi perang melawan JI dan faksi lainnya bisa saja akan berakhir. Meskipun jaringan JI dalam banyak hal berbeda dari para pendahulunya, terutama dalam kemampuan untuk mengubah dirinya dari fisik ke organisasi virtual, itu tidak sepenuhnya tanpa preseden. JI mungkin saja berbagi elemen kontinuitas dan diskontinuitas dengan kelompok-kelompok teroris lainnya.

Orang-orang yang mendukung terorisme tidak melulu memerlukan suatu organisasi dengan struktur kaku. Dalam artian, mereka bisa bergerak secara independen tanpa harus mengambil bagian dalam tugas-tugas di dalam organisasi. Kelompok teroris lebih merasa disatukan oleh satu ideologi dibandingkan disatukan oleh sebuah organisasi. Bisa saja para pendukung JI sudah tidak terlalu peduli dengan organisasi, lalu mereka bisa bergerak tanpa ada organisasi (bi ghairi tandzim)


Nah, kebijakan kontraterorisme yang kuat harus didasarkan pada berbagai pelajaran sejarah tentang kebijakan mana yang berhasil, dan dalam kondisi apa, untuk mempercepat penurunan dan kematian terorisme. Memperlakukan JI seolah-olah sui generis adalah sebuah ketidakjituan. Meskipun ada aspek unik dari ancaman yang tiba-tiba dijalankan oleh JI, ada juga koneksi dengan ancaman sebelumnya. Berbicara tentang ancaman “jihadis” yang belum pernah terjadi sebelumnya, sementara bisa dibilang beresonansi dalam konteks domestik, hanya melanggengkan citra dan romantisme dari gerakan JI, membuat ideologinya lebih menarik bagi calon yang direkrut.


Terorisme, seperti perang, mungkin saja tidak pernah berakhir. Ada kampanye teroris individu dan kelompok-kelompok yang selalu melakukannya. Deklarasi perang melawan terorisme oleh pemerintah telah membawa konsep samar tentang tahap pengakhiran JI daripada peta jalan yang meyakinkan untuk bagaimana hal itu akan dikurangi ke tingkat ancaman kecil. Ancaman JI nyata dan tidak dapat disangkal. Upaya melanjutkan pendekatan ahistoris untuk mendorong kematian JI adalah proses yang masih panjang. Nah, tampaknya perlu langkah yang efektif dan efisien, jangan sampai terjadi pemborosan kekuatan.


Penulis adalah Direktur Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku).

(Sumber)

Berita Terbaru

peluncuran buku tony soemarno

The Power of Forgiveness :

Antara Penyintas Bom dan Mantan Pelaku Terorisme 5 Agustus 2023 merupakan Hari Peringatan 20 Tahun Tragedi Bom JW Marriott. Peristiwa ledakan bom di hotel JW

Read More »

20 Tahun Tragedi JW Marriott : Bukan soal Meratapi Tragedi, Namun Menjadi Pembelajaran Agar Tidak Terjadi Lagi Aksi Teror di Tanah Air Kita

Yayasan FKAAI kembali mengadakan acara peringatan tragedi bom JW Marriott pada hari Sabtu, 5 Agustus 2023 lalu di Shan Café & Gallery, Atrium Lippo Mall Plaza Semanggi, Jakarta. Kegiatan ini berjudul “Memperingati 20 Tahun Tragedi Bom JW Marriott dan Bedah Buku ‘The Power of Forgiveness : Memoar Korban Bom JW Marriott” […]

Read More »

Pesona Wanita Khawarij

Pesona Wanita Khawarij  Ustad Sofyan Tsauri Salah satu penyerangan Polsek Astana Anyar Bandung, ternyata menyimpan cerita yang haru, tsk Agus Suyatno di khulu’ oleh istrinya,

Read More »