Militansi Buku
19 Oktober 2022
Penulis: Gus Soffa Ihsan
Jakarta. Novel Laut Bercerita memaparkan kisah para aktivis mahasiswa radikal di Jogja pada tahun 1990-an. Kita tahu, kala itu peta aktivisme di Indonesia lebih banyak terpusat di Jogja, Jakarta, dan Jawa Tengah. Pada masa itu, para aktivis harus sembunyi-sembunyi untuk membaca karya-karya yang masuk dalam daftar buku-buku terlarang. Membawa buku terlarang seperti karya-karya Pram, para penulis kiri Indonesia sebelum tahun 1960-an, atau para aktivis pro-demokrasi, berarti “menenteng bom” dan bisa dianggap “berbahaya dan pengkhianat bangsa”, kata Leila S. Chudori. “Pada 1989,” kata David T. Hill (2001), “para aktivis di Yogya didakwa di bawah UU Anti-Subversi karena menjual salah satu novel Pramoedya yang dilarang; dan mereka bisa menerima hukuman.” Betapa mengerikannya mempunyai buku terlarang di zaman Orde Baru.
Yah, buku punya riwayat dan cerita. Ada terhampar cerita tentang penghancuran terhadap buku. Seperti penyaksian Fernando Baez, pakar perbukuan asal Venezuela saat pasukan Amerika menggempur Baghdad pada Mei 2003. Ketika itu, peradaban dihancurkan lewat pembakaran buku dan perusakan museum-museum. Fakta ini mengulang sejarah saat pasukan Hulaghu Khan masuk Baghdad dan menghancurkan isi perpustakaan, melempar buku dan membakarnya. Inilah kisah para Biblioklas, penghancur buku yang hadir dari sejak baheula hingga dunia moderen ini. Bagi Baez, penghancuran buku sama artinya pemusnahan terhadap manusia. Buku hancur bukan sebagai objek fisik, melainkan sebagai tautan memori, tautan pada kesadaran akan pengalaman masa lampau. Buku menjilid memori manusia. Bagi orang Yunani, memori adalah ibu dari sembilan dewi, namanya Mnemosin. Menyitir John Milton pula, apa yang dihancurkan dalam sebuah buku adalah rasionalitas yang dihadirkannya.
Tapi buku bukan hanya ditakuti lalu dihancurleburkan. Buku bisa menjadi ‘makhluk’ yang bisa merasuki seseorang hingga dia kalap dan lalu bertindak merusak. Maka, piara buku demi sebuah heroisme idiologi. Membangun cita-cita meniscaya lewat buku. Karenanya, buku diyakini bisa menjadi instrumen efektif untuk menggelorakan dan memandu para pengikutnya untuk tetap komitmen dan melangkah pada jalan yang diperjuangkan.
Kelompok teroris ISIS sangat sadar itu dan lalu berkarya serta menyebarluaskan karya-karyanya. Misalnya pernah terbit sebuah buku ‘panduan’ digital untuk para anggotanya di seluruh dunia. Judulnya ‘Panduan Keselamatan dan Keamanan Bagi Pelaku Tunggal Mujahidin dan Jaringan Kecil’ ini berhasil terungkap dan dilaporkan dalam situs Telegraph. Buku ‘panduan’ yang ditujukan bagi militan ISIS ini ditulis dalam bahasa Inggris. Dikabarkan, panduan ini aslinya berasal dari dokumen yang sebelumnya ditulis dalam bahasa Arab untuk kelompok al-Qaeda, yang akhirnya memisahkan diri dengan ISIS pada tahun 2014. Buku ini pun juga dikabarkan merujuk pada dokumen jihad terkenal yang berjudul ‘Membuat Bom di Dapur Ibu Anda’. Didalamnya memuat berbagai tips terkait apa yang harus dilakukan seorang militan untuk bisa melancarkan sebuah serangan.
Mantan napiter, Haris Amir Falah pernah menuturkan bahwa pemicu teror adalah pemikiran sang teroris itu sendiri. “Kita tidak sedang khawatir dengan aksi terorisme, karena sesungguhnya pemikiranlah yang sangat berbahaya”. Dalam bukunya bertajuk Hijrah dari Radikal ke Moderat, ia menuangkan pengalaman pribadinya hingga terjerumus ke dalam lingkaran terorisme. Lagi-lagi, pemikiran yang berbahaya tak lepas dari bacaan dari buku-buku yang provokatif.
Dari Buku Ke Aksi
Ingat Ganna Pryadharizal Anaedi Putra? Hiruk pikuk pro-kontra pemulangan 600 WNI di Suriah sepertinya melupakan sosok yang satu ini. Kisahnya bisa melabrak akal sehat dan menujah normalitas. Pria kelahiran Jakarta ini pergi ke Suriah memboyong istrinya, Syifa Annisa, dan ketiga anak mereka. Istri keduanya, Sefi Ubudiyah, yang alumnus Universitas Negeri Jakarta juga ikut menyusulnya. Mereka tiba di Raqqa, ibu kota kekhalifahan ISIS, pada Oktober 2015, gelombang terakhir orang Indonesia yang hijrah ke negara konflik dan pusat Daulah Islamiyah itu.
Ganna adalah alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir. Ganna mendalami pemikiran Islam di Fakultas Ushuluddin. Ia belajar cabang-cabang ilmu filsafat Islam yang bagi sebagian kelompok dianggap sebagai ‘ilmu sesat’. Diawal-awal pergulatannya, pemikiran Ganna tumbuh dari para pemikir Islam kiri, salah satunya Hassan Hanafi, pemikir terkemuka di Mesir.
Sepulang ke Indonesia, Ganna bekerja di koran Sindo, lebih dari setahun dan menjadi reporter untuk rubrik internasional. Di masa sebelum bergabung ISIS inilah Ganna sempat pula menjadi editor dan penerjemah di Pustaka Al-Kautsar, sebuah penerbitan buku Islami di Jakarta. Ia menerbitkan macam-macam buku, dari buku saku panduan untuk jemaah haji hingga buku tentang fikih atau hukum Islam. Setidaknya, ia menerbitkan sebelas buku yang terdata dalam katalog Perpustakaan Nasional.
Seiring waktu, siapa sangka, Ganna yang dikalangan sejawat kerjanya dikenal cerdas dan senang bercanda, memilih jalur yang sangat radikal sampai-sampai memutuskan ke Suriah dan bergabung ISIS. Asupan buku-buku radikal telah menyiram sekujur pikiran Ganna. Ganna pun berjejaring dengan Kholid Abu Bakar via Gema Salam, sayap pemuda Jamaah Ansharut Tauhid pimpinan Abu Bakar Ba’asyir. Kholid adalah ustadz untuk keluarga Surabaya yang melakukan bom bunuh diri di tiga gereja. Ia juga punya keluarga di Suriah. Pada 2013, Gema Salam pernah secara terbuka mendukung ISIS di Suriah dan mengendalikan situs shoutussalam.org, yang menerjemahkan media propaganda ISIS untuk pembaca Indonesia. Belakangan, situs itu ditutup pemerintah Indonesia. Tersingkap pula Ganna adalah anak buah Aman Abdurrahman, pencetus Jamaah Ansharut Daulah, yang berbaiat pada ISIS.
Kemampuan Ganna dalam literasi, membuatnya diberi posisi penting dalam divisi media ISIS. Ia diberi akses kontrol ke Amaq News Agency, media resmi propaganda ISIS. Peran Ganna dan Amaq bisa kita telusuri dari kasus kerusuhan Rutan Salemba cabang Mako Brimob, 8 Mei 2018. Dua jam setelah kerusuhan itu, Amaq mengklaimnya sebagai aksi pendukung ISIS. ISIS tak sembarang main klaim atas satu serangan ganas demi menjaga profilnya sebagai organisasi yang punya disiplin ketat. Biasanya ISIS melakukan proses verifikasi suatu serangan di bawah kontrol jaringan globalnya selama lebih dari enam jam. Kecepatan proses verifikasi itu karena ada akses informasi dan komunikasi langsung antara para tahanan di Mako Brimob dan divisi media Amaq di Suriah, yang dilakoni Ganna.
Cilaka dua belas, Ganna tewas dalam serangan bom Pasukan Koalisi pada Mei 2018. Kabar kematiannya pernah diunggah di Facebook istrinya, Syifa Annisa. “Insya Allah jual beli Aa Ganna dengan Allah sudah laku,” kata Syifa, bernada bangga. Ya, untunglah dia sudah tewas, sehingga tidak merepotkan pemerintah Indonesia yang tengah didera tarik ulur soal pemulangan WNI yang hijrah ke Suriah.
Gerakan Buku Klandestin
Banyak sudah diungkap bahwa sikap dan tindakan seseorang atau kelompok juga dipengaruhi oleh buku. Seringnya ditemukan buku yang bertemakan jihad dalam peristiwa penggerebekan tersangka pelaku tindakan teror menengarai fakta yang menarik. Apalagi dari beberapa judul buku yang ditemukan ternyata lebih banyak merupakan buku terjemahan dari bahasa Arab yang ditulis oleh para ideolog jihad global di Timur Tengah, seperti Abdullah Azzam, Abu Muhammad al-Maqdisi, Abu Qatadah al-Filistini, atau juga Yusuf al-Uyairi.
Kisah herois buku, mari kita simak riuhnya penerbitan buku dari kalangan jihadis. Buku-buku yang beredar dilingkungan jihadis merupakan terjemahan dari bahasa Arab yang sebagian besar ditulis oleh jihadis Timur Tengah, seperti Usamah bin Ladin, Abdullah Azzam, Abdul Qadir Abdul Aziz, Abu Mush‘ab Al-Zarqowi. Apa saja buku itu, beberapa diantaranya Rambu-Rambu Dalam Perjuangan yang judul aslinya adalah Taujihat Manhajiyah, tulisan Usamah bin Ladin. Buku ini diterbitkan oleh Al-Qaidun Group, simpatisan Jamaah Tauhid wal Jihad. Secara umum, buku tersebut membahas tentang ajakan Usamah kepada umat Islam dunia untuk berjihad dengan berbagai argumentasi naqliyah dan aqliyah yang digunakannya.
Lalu ada buku An-Nihayah wal Khulashoh. Buku ini berasal dari petikan-petikan khutbah Abdullah Azzam. Buku terjemahannya diterbitkan oleh Al-Qoidun tanpa keterangan tempat dan tahun terbit. Yang menarik dari buku ini adalah bahwa baik penulis maupun penerjemahnya adalah aktifis jihad yang meninggal di medan “jihad”. Abdullah Azzam adalah tokoh jihadis dunia yang meninggal akibat pemboman di Pakistan. Sedangkan Jabir al-Irhaby, penerjemah buku tersebut adalah tersangka teroris yang meninggal pada tanggal 29 April 2006 di Kertek Wonosobo pada saat penggrebekan oleh Densus 88. Sekilas kisah, Jabir dikenal keluarganya dengan nama Gempur Budi Angkoro. Anak ketiga dari empat saudara itu menghilang sejak terjadi ledakan di Kedubes Australia di Jl Kuningan Jakarta, 9 September 2004. Sejumlah informasi yang dihimpun menyebutkan, Jabir ditengarai saudara sepupu Fatkhurahman Al Ghozy, teroris yang tewas di Filipina. Adik Ghozy, dikabarkan menikah dengan kakak Gempur. Bisa jadi, perkiraan polisi yang mengatakan Gempur terlibat dengan serangkaian teror bom di beberapa daerah benar adanya. Terlebih di mata polisi, Jabir dikenal sebagai perakit dan pembuat bom yang andal. Dia juga pembuat bom yang mengakibatkan ledakan hebat di Hotel Marriot dan Kedubes Australia. Untuk isi buku tersebut, secara umum, membahas tentang hukum jihad, hukum meminta izin untuk berjihad, jihad bersama orang-orang fajir, siapakah yang layak dimintai fatwa dalam masalah jihad.
Buku Rambu-Rambu Tho’ifah Manshuroh yang judul aslinya adalah Ma’âlim Ath-Thâ’ifah Al-Manshûrah fî Uqri Dâr Al-Mu’minîn ditulis oleh Abu Qatadah Al-Filisthini. Abu Qatadah adalah orang yang paling diburu oleh pemerintah Inggris sejak tahun 2001, karena dianggap sebagai tokoh teroris dan memiliki keterkaitan dengan al-Qaidah. Penerjemah buku ini adalah Ustadz Abu Sittah Mukhlas At-Tinjuluni, yang tidak lain adalah Mukhlas salah seorang terpidana mati pelaku bom Bali pertama bersama Amrozi dan Imam Samudra. Editor buku ini adalah Tim Jazeera, dan diterbitkan oleh Al-Qoidun Group Indonesia.
Ada lagi buku-buku karya Abdul Qadir Abdul Aziz, antara lain, Faidhul Karimil Mannaan min Ahammi Furuudhul A`yaan (Mendukung kontradiksi antara Tauhid dengan Jihad Sebagai Prioritas Yang Paling Penting), Al-Jaami` fie Tholabil `Ilmisy Syariif (Kelengkapan dalam Menuntut Ilmu Syar`ie), `Umdah fie I`daadil `Uddah, (Bekal dalam Mempersiapkan Kemampuan), Da’watut Tauhid, (Da`wah Tauhid), Al Hujjah fie Ahkami Millatil Islamiyyah (Hujah dan Kedudukannya dalam Hukum Islam), Hadzaa Bayaan Lin Naas: Al Irhaabu minal Islaam (Terorisme Ajaran Islam). Abdul Qodir bin Abdul Aziz sendiri adalah lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Kairo tahun 1974. Dia mulai menjadi buron pemerintahan Mesir pasca terbunuhnya Anwar Sadat pada tahun 1981, namun ia berhasil meloloskan diri keluar dari Mesir. Salah satu bukunya diterjemah dengan judul Terorisme Ajaran Islam oleh Herniyanto dan diterbitkan oleh Al-Qoidun Group. Herniyanto sendiri adalah terpidana kasus Bom Bali I yang meninggal pada tanggal 3 Februari 2006 di Lembaga Pemasyarakat Krobokan dalam perjalanan ke Rumah Sakit Sanglah, Denpasar Bali. Buku ini membahas tentang al-irhab (membuat gentar orang-orang kafir) yang dipandang bagian dari ajaran Islam dan barangsiapa mengingkari hal itu berarti telah kafir, Amerika adalah negara kafir, memusuhi Allah, Rasul-Nya dan orang yang beriman, dan lain-lain.
Buku Tiada Khilafah Tanpa Tauhid dan Jihad karya Abu Bashir Abdul Mun’im Mushthofa Halimah At-Tarthusi, diterjemahkan oleh Abu Sulaiman AsSijn Fakallohu Asroh. Penerbitnya Divisi Media Dan Kajian Al-Qo’idun Group.
Kemudian, buku Kepada Mereka Yang Buron dan Tertawan, dan Janganlah Bersedih Sesungguhnya Alloh Bersama Kita. Buku ini karya Abu Muhammad Ashim Al-Burqowi Al-Maqdisi, diterjemahkan oleh Abu Hafs As-Sayyar, dan diterbitkan oleh Al-Qoidun Group. Buku Inilah Jalan Para Rosul, karya Abu Mush‘ab Al-Zarqowi, diterjemahkan oleh Ahmad Ilham Al-Kandari, dan diterbitkan oleh Al-Qoidun Group. Buku Bergabunglah Bersama Kami, karya Abu Mush’ab Az-Zarqowi, diterjemahkan oleh Abu Mortal al-Jatimy, dan diterbitkan oleh Al-Qoidun Group. Jawaban seputar Masalah-Maslah Fikih Jihad karya Ibnu Qudamah An-Najdi, diterjemahkan oleh Abu Jandl Al-Muhajir, dan diterbitkan oleh Al-Qoidun Group. Buku Cara Tepat Untuk Mati Syahid karya Jabir bin Abdul Qoyyum As Sa’idi AsySyami, diterjemahkan oleh Mujahidin Cell, dan diterbitkan oleh Maktab Nidaa-ul Jihad. Buku Fikih Tawanan karya Yusuf bin Shalih Al-‘Uyairi, diterjemahkan oleh Ibnu Mortar Al-Sijn dan Abu Bazooka Al-Buron, dan diterbitkan oleh Al-Qoidun Group Jama’ah. Buku Yang Tegar Di Jalan Jihad karya Yusuf bin Shalih Al-‘Uyairi, diterjemahkan oleh Abdulloh Ibnu Abu Irhaby, dan diterbitkan oleh Al-Qoidun Group. Buku Petunjuk Praktis Menjadi Mujahid karya Yusuf bin Sholih Al-‘Uyairi, diterjemahkan oleh Syahida Man, dan diterbitkan oleh Al-Qoidun Group.
Itulah deretan contoh buku terjemahan dari bahasa Arab yang beredar di kalangan para jihadis Indonesia. Publikasi buku-buku jihad dilakukan melalui penerbitan secara tercetak maupun melalui dunia maya atau internet. Laporan ICG (2008) mensinyalir bahwa buku-buku jihad diterbitkan oleh semacam jaringan penerbit yang memiliki kedekatan ideologis dengan Jamaah Islamiyah (JI). Sebagian besar perusahaan penerbitan yang terkait JI berada di Solo, dikelola oleh alumni Pondok Pesantren al-Mukmin, di Ngruki, Solo. Meskipun hanya sedikit sekali yang kelihatannya menjadi anggota IKAPI, hampir seluruhnya merupakan anggota Serikat Penerbit Islam atau SPI, sebuah asosiasi yang tampaknya didominasi oleh Ngruki. Beberapa penerbit tersebut adalah al-Alaq, kelompok Arafah, Kelompok al-Qowam, Kelompok Aqwam, Kafayeh Cipta Media (KCM), Penerbit di daerah Solo yang lain, dan Ar-Rahmah media.
Arrahmah Media juga dikenal sebagai situs berita dan sekaligus penerbit dari beberapa buku jihad seperti Jihad di Asia Tengah; The Giant Man, Biografi Mulloh Umar; Tidak Ada Damai dengan Israel; Awas! Operasi Intelijen-The Untold Story, Commander Khattab-Pahlawan Jihad Chechnya, Army Madinah in Kashmir, Tiada Khilafah Tanpa Tauhid dan Jihad, dan lain-lain.
Di samping menggunakan media kertas, para jihadis juga memanfaatkan internet untuk menyebarluaskan buku-buku dan informasi tentang jihad. Beberapa situs antara lain arahmah.com, thoriquna.wordpress.com, almuwahhidin.com, millahibrahim.wordpress.com, dan alqoidun.sitesled.com. Beberapa situs tersebut tentunya ada yang tidak aktif atau sudah diblokir oleh Kominfo RI karena dianggap mengandung kontent terorisme. Satu hal yang menarik adalah adanya kerjasama dan jaringan antara satu situs dengan situs lain dalam menyebarkan informasi tentang jihad tersebut. Hal ini dibuktikan dengan adanya pencantuman link situs-situs lain yang sefaham di masing-masing halaman situs-situs jihad tersebut.
Apa yang menonjol dari terbitan buku-buku tersebut? Para penulis asli maupun penerjemah buku-buku tersebut adalah para pelaku jihad itu sendiri. Sedangkan publikasi buku-buku tersebut dilakukan melalui penerbitan dan situs-situs di internet. Sebagian besar situs jihadis Indonesia memberikan informasi, artikel dan buku-buku jihad yang bisa diunduh secara gratis. Menariknya pula, diantara para pengelola situs jihad Indonesia terjalin jaringan yang solid dalam bentuk tukar menukar link dan komentar.
Bila dicermati, corak pendekatan yang dipakai para penulis adalah tekstual dan eksklusif. Artinya, hampir semua pokok pembahasan dalam buku-buku tersebut selalu bertaburan dengan ayat-ayat al-Quran, hadits, dan pendapat-pendapat para ulama yang difahami secara dangkal dan formal. Sejumlah konsep dalam buku-buku jihad yang berpotensi mempengaruhi para pembaca dengan pemahaman keislaman minim untuk melakukan tindakan tragis beratasnama agama. Ajaran jihad ekstrem yang terdapat dalam ‘buku-buku keras’ tersebut berpotensi menyusup ke dalam lembaga pendidikan melalui berbagai pintu masuk, seperti kegiatan mentoring agama Islam di perguruan tinggi, kegiatan Rohis di SMA/SMK, jaringan pertemanan, dan melalui agenda tersembunyi dari lembaga-lembaga pendidikan yang cenderung melawan ideologi negara.
Literasi Kitab Kuning
Sebenarnya, konsep tentang jihad telah lama dikaji oleh umat Islam di Indonesia. Pembahasan tentang jihad bisa ditemukan dalam berbagai kitab kuning yang membahas masalah fikih, seperti Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab, Bidayatul Mujtahid, al-Muwafaqot, serta kitab ushul fikih seperti al-Waroqot, Lahoiful Isyarot, Al Mustasfa dan masih banyak lainnya. Kitab-kitab ini menjadi materi kajian wajib di pesantren-pesantren yang dipandang selama ini tradisional (salafiyah). Pada umumnya, pembahasan tentang jihad tersebut lebih banyak berupa kajian pada tataran wacana daripada dalam bentuk aksi. Pengecualian terjadi pada kasus naskah-naskah Hikayat Perang Sabil yang merupakan buku pengobar semangat dalam perang Aceh.
Mengapa kitab kuning? Tentu ya, karena kitab kuning berisi pandangan para pemikir Islam yang heterogen dengan beragam perdebatan yang terjadi di dalamnya. Hal ini membuat wawasan keagamaan masyarakat pesantren tidak hanya terbelenggu oleh satu doktrin pemahaman tunggal. Mereka mendapati bahwa tafsir keagamaan sebagaimana yang mereka temukan dalam kitab kuning, sungguh kaya akan perbedaan. Justru karena perbedaan itulah, setiap muslim memiliki keleluasaan untuk memilih pandangan yang paling diyakininya benar, dengan tetap menghormati pandangan yang lain. Dalam tradisi penulisan kitab kuning, selalu ada apa yang disebut nadhom, matan, syarah, hasyiyah, serta selalu diselipi di dalamnya seperti tanbih, qaul mu’tamad. qila wa qila, qaul arjah, dan lainnya. Hal ini tentu tidak akan kita jumpai dalam pemahaman keagamaan kelompok skriptural yang cenderung mereduksi kebenaran ke dalam satu pandangan.
Nah, fenomena industri penerbitan yang digerakkan secara militan dan disebar secara meluas, hingga melahirkan banyaknya rekrutan radikal membuktikan tidak maksimalnya fungsi–meminjam bahasa Bourdieu (1977)–, reproduksi sosial dan budaya dari lembaga-lembaga sosial seperti sekolah, keluarga, institusi keagamaan dan seterusnya. Ujung-ujungnya, ruang kosong reproduksi nilai tersebut diambil alih oleh kelompok takfiri radikal untuk memproduksi nilai-nilai ‘baru’ yang berporos dari pemahaman keagamaan skriptural dan eksklusif.
Penulis adalah Direktur Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku). (Sumber)